Kelas Empat Yang Menyebalkan
by Kyra Torrita
Diterbitkan 2020
Disunting oleh Fairuza H. Razak dan Farah
Novella, 59 halaman
dalam Bahasa Indonesia
ISBN: 978-623-7716-13-6
-
Fella terpaksa harus pindah rumah karena pekerjaan Ayahnya yang baru. Ia kemudian mempunyai teman di sekolahnya yang baru. Awalnya, semua baik-baik saja, dan mereka berteman, bahkan selalu ke mana-mana bersama. Namun ternyata, sahabat barunya, Monna, tak sebaik prasangkanya. Monna bertekad untuk mengerjai Fella sampai batas kesabaran Fella. Bagaimana ia akan menghadapinya? Akankah menjadi Kelas Empat yang Menyebalkan?
Kyra Torrita menceritakan kisah yang menggigit tentang bagaimana rasanya harus pergi meninggalkan tempat yang sudah lama kau panggil ‘home.’ Penuh dengan nostalgia dan perjuangan menemukan tempat dalam kota asing.
-
Setelah pulang sekolah Fella menonton televisi dan membantu Ibu dengan cucian baju. Ketika Ayah datang penuh dengan kebimbangan. Ibu, sambil melipat baju yang telah disetrika, menengok dari pekerjaannya dan bertanya pada Ayah.
“Ayah, kenapa terlihat begitu bingung?” tanya Ibu, tangannya masih melipati cucian kering.
“Ayah mempunyai kabar baik, tapi juga kabar buruk,” kata Ayah dengan wajah sedih. Ia mulai bercerita tentang apa yang diberitahu oleh bosnya. Rupanya, Ayah mendapat promosi pekerjaan, namun untuk menerima promosi itu, ia harus pindah ke Jakarta.
Fella harus ikut bersamanya dan pergi meninggalkan teman-temannya.
“Apa?” teriak Fella kaget. “Aku tak mau pindah rumah.”
Ibu menghela nafas. “Fella, kamu tidak boleh begitu, Nak.” Ia memeluk badan Fella, mencoba menenangkan Fella yang terlihat ingin menangis.
“Fella dititipin di rumah Nenek dan Kakek aja. Pokoknya aku mau tetap sekolah di Sekolah Mortela,” kata Fella. Kedua tangannya mengepal. Air matanya berjatuhan.
Ibu memeluk Fella, mencoba menenangkannya.
“Fel, kamu harus ikut. Kita akan tinggal di Jakarta. Kamu akan sekolah di sana. Kamu harus ikut dengan Ayah dan Ibu. Kamu tidak bisa tinggal di rumah Nenek dan Kakek. Kamu bukan sedang liburan. Kakek dan Nenek tidak bisa mengurus kamu terus-menerus, kan kasihan mereka,” jelas Ibu.
“Bu, aku paham, tapi untuk ninggalin teman-temanku itu tidak gampang!” kata Fella melawan.
“Ibu tahu Fel… Memang tidak gampang. Dan besok saat kamu ketemu mereka, kamu harus beri tahu mereka kamu akan pindah minggu depan,” kata Ibu sambil mengelus pundak Fella.
“Pokoknya aku nggak mau pindah!” kata Fella sembari menghentakkan kakinya. Ia pergi ke kamarnya.
“Ini semua salah Ayah,” kata Ayah sambil memijat-mijat kepalanya dan menghela nafas.
Fella masuk ke kamar, membanting pintu kamarnya dan mengunci kamar. Ia berbaring di kasur, memikirkan tentang ia dan orang tuanya pindah ke Jakarta. Fella sangat menyukai kota Bandung yang sekarang ditinggalinya. Angin dingin menyambar jendela kamarnya. Sementara teman-temannya saat ini sedang mengobrol, ia menghabiskan waktu di kamar berbaring memikirkan suatu hal yang akan mengubah hidupnya. Ia yang tadi gembira langsung berubah menjadi sebal dan sedih.
Ia menangis karena ia sangat kesal. Kenapa kita harus pindah rumah? Kenapa kita harus pindah rumah? Ia mengulangi kalimat itu beberapa kali. Ia semakin ditelan kesedihan, dan menatap langit-langit. Kenapa Ayah harus pindah kerja? Ia membayangkan barang-barang yang ada di sini semua akan menjadi isi kardus-kardus nanti. Tangis dan amarahnya membaur menjadi satu, mengingat nasibnya.