Bunga untuk Mama
by Ry Mutiara
Diterbitkan 2020
Disunting oleh Fairuza H. Razak dan Farah
Novella, 66 halaman
dalam Bahasa Indonesia
ISBN: 978-623-7716-18-1
-
Irene, namanya. Ia hidup di keluarga yang sangat harmonis. Irene juga sangat dimanjakan karena ia adalah anak semata wayang. Hidupnya sempurna sampai keluarga kecilnya ditimpa badai besar.
Papanya meninggal karena kecelakaan. Irene merasa terpukul, ditambah Mamanya menyalahkannya atas kepergian Papanya. Mamanya mengabaikannya, mengurung diri di kamar, menangis setiap saat. Irene merasa kesepian. Rumah yang dulunya dipenuhi canda tawa kini sunyi senyap.
Suatu malam, Papanya datang ke mimpinya. Memberitahu satu cara mengembalikan keharmonisan keluarga kecil itu.
Ry Mutiara menuliskan cerita penuh rasa kehilangan tetapi menggambarkan cinta antara anak kepada ibu yang tidak akan pernah mati.
-
Irene merasa ada sesuatu yang aneh dari sikap pamannya. Om biasanya cerewet, dan gara-gara itu Mama selalu menegur Om karena hal-hal yang ingin dirahasiakan akan terselip dari mulutnya. Tapi setelah melihat wajah Om yang juga terlihat cemas dan bingung, Irene memutuskan untuk tidak banyak tanya.
Irene tidak bisa menahan rasa penasarannya lagi ketika mobil yang dinaikinya tidak jalan ke arah rumahnya.
“Om, kok kita belok kanan? Bukannya harusnya lurus?” tanya Irene penasaran.
Kemudian, seolah-olah tekanan dari rasa ingin tahu Irene telah meretakkan keteguhan Om, Om menjelaskan, “Aryan… Papamu kecelakaan tadi siang.”
Irene terkaget.
“Waktu itu dia sedang mengemudi untuk menjemput Irene, tapi dia mengantuk,” jelas Om. “Sekarang Papa sedang di rumah sakit bersama Mama dan Tante. Mereka sebenarnya tidak ingin Om untuk memberitahu Irene, karena mereka takut Irene akan cemas. Tapi menurut Om, Irene berhak untuk tahu kondisi Papa Irene.”
Rasa cemas mulai membengkak di dada Irene. Ia menyalahkan dirinya sendiri karena telah meminta Papa untuk menjemputnya. Seharusnya ia sudah tahu bahwa Papa terkadang kerja lembur.
“Jangan cemas, semua akan baik saja. Papamu orang yang kuat,” kata Om menenangkan.
Sesampai di rumah sakit, Irene berlari turun dari mobil. Om tidak ikut karena harus segera menjemput Nenek Irene. Irene berlari menuju ruang rawat tempat Papa sedang dirawat.
Irene berhenti di depan pintu ruang rawat, mengatur napasnya yang terengah-engah. Perasaannya sudah tidak enak. Tidak. Tidak, ucap Irene dalam hati. Aku tidak boleh berpikir seperti itu. Papa adalah orang yang kuat. Tidak mungkin seperti itu.
Dengan perlahan ia membuka pintu ruang rawat darurat. Ketika pintu terbuka ia melihat Papa terbaring kaku di tempat tidur dan masih tersenyum. Mama sedang duduk menangis di sebelah tempat tidurnya. Ada juga beberapa kerabat dekat yang berdiri mengelilingi tempat berbaring Papa.
Irene sangat kaget. Keinginan untuk menangis dengan kencang menyesakkan dadanya, tapi Irene berusaha terlihat tegar di depan Mama. Ia tidak kuat melihat Mama menangis. Selama sebelas tahun, ini adalah pertama kalinya ia melihat Mama menangis. Irene merasakan sesuatu yang perih mendesak-desak ke ujung matanya. Ia sadar ia mulai menangis dan menutupi wajahnya dari tatapan anggota keluarganya. Ia berlari menghampiri Mama. Memegang erat tangan Mama yang sedang bergemetaran. Air mata mereka tidak berhenti berjatuhan.
Mama menepis tangan Irene. Mama berdiri.
“INI SEMUA SALAH KAMU! Papamu meninggal karena kamu! Semua salah kamu! Kalau Papa tidak pergi menjemputmu, Papa tidak akan kecelakaan!” teriak Mama.
“Asha, tenanglah!” teriak salah satu kerabat. Ia menangkap tangan Mama yang terkepal diacungkan ke Irene. “Ini anakmu!” Tangan Mama terus berusaha untuk menyambar Irene. Kerabat-kerabat lain berusaha menenangkan Mama.
Irene tidak bisa mengalihkan pandangannya dari wanita yang telah menyayanginya sejak ia lahir, yang sekarang tampak ingin memukul Irene. Sesuatu di dalamnya hancur melihat mamanya dalam kondisi seperti ini.
Seseorang menghampirinya dari belakang dan memeluknya erat. “Ini bukan salah kamu, Irene,” bisik Kak Lia, kakak sepupunya, menenangkan. Meski begitu Irene tetap merasa sangat bersalah. Ia merasa semua ini salahnya. Bisakah tidak waktu diputar kembali? Ia ingin kembali ke pagi itu dan memberitahu Papa untuk istirahat, Om saja yang menjemputnya. Ia tidak sadar bahwa ia telah menyuarakan pikirannya ke seluruh ruangan itu.