Saujana: Sejauh Mata Memandang

by Nasywa

 

Akan diterbit 2023

Disunting oleh Farah Fakhirah
Novella, 87 halaman
dalam Bahasa Indonesia
ISBN 978-623-7716-82-2

  • Aksara Litani Dirgantara seorang siswi 18 tahun asal Yogyakarta yang merantau ke Jakarta demi menimba ilmu. Kehidupan Aksara di kampung tidak begitu memadai. Dengan bermodal kepintaran di atas rata-rata, ia memutuskan merantau.

    Petualangan serta konflik kehidupannya di mulai dari sana. Kehidupan sekolahnya ia jalani dengan tenang, tetapi konflik juga tetap hadir.

    Peringkat ujiannya terjun bebas, hingga Aksara terpaksa mati-matian merebut balik posisinya.

    Ia terlalu ambisius sampai lupa pada keluarga. Di tengah itu, ibunya jatuh sakit. Memintanya untuk pulang ke rumah terus-menerus. Sayang Aksara menolak. Membawanya ke penyesalan panjang. Apa yang akan menimpanya seterusnya?

  • Bab 1.
    Sebermula

    Jalan setapak di pinggiran kota Jakarta tampak lengang petang ini. Motor-motor yang biasanya hilir mudik, seolah lenyap begitu saja menyisakan kesunyian panjang yang sesekali disela oleh guntur. Awan-awan yang semula seputih kapas, dengan cepat berubah menjadi hitam pekat, menutupi semburat jingga matahari. Cakrawala senja yang biasanya menawan, kini tiada. Tergantikan langit pekat dengan petir yang sesekali menyambar. Kurun waktu satu menit, hujan mulai turun mengguyur bumi Jakarta.

    Aksara Litani Dirgantara—seorang gadis warga Yogyakarta yang merantau ke Jakarta, berlari-lari kecil sore itu. Ia berusaha menghindari tampias air hujan, lantaran lupa membawa payung. Hujan semakin deras, petir berkilat-kilat menciptakan suasana mendebarkan sekaligus mencekam. Apalagi dengan suasana jalanan yang sepi, tiada kendaraan yang melintas sekali pun.

    Aksara beberapa kali menggigit bibirnya cemas, menoleh ke sana ke mari, mencari suatu tempat, atau setidaknya halte untuk menghindari derasnya hujan. Sayangnya, tidak ada satu pun tempat yang bisa ia jadikan tempat berteduh. Hanya ada jalanan lebar yang senyap. Toko-toko juga nihil, hanya ada pepohonan rindang dan tiang listrik sepanjang jalan. Tidak ada opsi lain selain berlari secepat mungkin menuju kos. Langkahnya semakin gesit, berusaha setengah mati mempercepat jalannya.

    Beruntung, tidak lebih dari sepuluh menit, ia sudah menapakkan kaki di kosannya tercinta. Tangannya gesit meraih gagang gerbang, menariknya kuat-kuat. Satu detik sebelum ia melenggang masuk, iris matanya menangkap sesuatu di luar pagar sana. Ada sosok anak kecil laki-laki yang tengah terisak di bawah guyuran hujan. Dengan gerakan terburu-buru, tangannya menyambar payung yang tergeletak di ubin pos satpam kosannya. Berjalan cepat, menghampiri anak kecil yang ia lihat tadi.

    “Kamu kenapa ada di tengah hujan deras begini?” Ia merendahkan tubuhnya, memayungi anak kecil di hadapannya.

Previous
Previous

The Different Me

Next
Next

If Violins Could Love