Caroline
by Galih Ayu Nugraheningtyas
Diterbitkan 2020
Disunting oleh Fairuza H. Razak
Novella, 76 halaman
dalam Bahasa Indonesia
ISBN: 978-623-7716-25-9
-
Nadine dan keluarganya terpaksa harus pindah ke sebuah rumah di Melrose Avenue, sebuah lingkungan yang dipenuhi rumah-rumah berusia ratusan tahun. Kalian tahu bukan, rumah tua selalu menyimpan cerita?! Begitupun Nadine. Ia mengalami banyak hal ganjil sejak tinggal di sana. Lukisan di tangga itu adalah kunci dari semua misteri yang ada.
Dalam novella debutnya, Galih Ayu menuliskan sebuah misteri dengan gaya tulisan atmospheric dan penuh ketegangan. Masuklah ke dalam rumah baru Nadine dan keluarganya, dan temukan siapa yang memiliki rumah itu sebelum mereka.
-
Los Angeles sedang memasuki musim semi. Pohon-pohon di sepanjang jalan mulai menghijau. Setelah dilanda dingin beberapa waktu, kini kota ini sedikit menghangat. Matahari bersinar cerah, hanya diselimuti tipis oleh awan. Suara anak burung pipit yang baru menetas di atas sarangnya. Tawa anak-anak melintas mengendarai sepeda mereka. Angin sepoi yang berembus membuat pucuk-pucuk daun yang baru saja bertunas, berdebar. Pada saat-saat seperti ini, penduduk di daerah Melrose Avenue lebih suka menghabiskan waktu di luar rumah, entah itu piknik di taman, berkemah, atau memancing. Taman-taman dipenuhi oleh orang-orang yang sedang menikmati hangatnya musim semi.
Beberapa waktu yang lalu, taman ini tidak jauh beda dari makam. Sepi — tidak ada yang berniat untuk berkunjung karena cuaca dingin. Pada musim dingin, penduduk Melrose Avenue lebih memilih untuk tinggal dan melakukan aktivitas di dalam rumah masing-masing. Duduk di depan perapian, menyalakan televisi, menikmati sepiring kue kering dan secangkir cokelat panas, atau bergelung di dalam selimut tebal yang akan melindungi mereka dari dinginnya udara di luar.
Sementara saat musim semi ini, Nadine dan keluarganya baru saja pindah ke kota kecil ini. Ayahnya mendapatkan promosi jabatan dan harus pindah tugas ke Amerika. Di salah satu kota di Los Angeles, kota ini mereka mendapatkan sebuah rumah yang cukup nyaman untuk mereka tinggali selama beberapa tahun mendatang. Nadine tidak tahu bagaimana ayahnya bisa mendapatkan rumah itu. Yang ia tahu hanyalah kini ia dan keluarganya hampir sampai di rumah barunya. Ia pikir ia akan cukup betah tinggal di lingkungan yang dikelilingi banyak pohon. Selama ini, ia sudah cukup penat dengan hiruk pikuk Jakarta. Di sini, ia bisa menikmati lebih banyak musim.
“Nah, kita sudah hampir sampai,” Ayah Nadine mengulangi ucapannya, dengan senyum semangat yang ia tidak bisa tahan lagi. Ia duduk di kursi penumpang depan taksi yang mereka tumpangi.
Tidak lama kemudian, taksi itu perlahan berhenti di depan rumah.
Bangunan rumah mereka bergaya Amerika klasik itu berdiri kokoh, warna abu-abu dan krem netral cocok sekali dengan suasana di sekitar rumah ini. Meskipun usianya sudah terhitung tua, rumah ini masih dalam kondisi yang cukup bagus. Menurut cerita dari Ayah, rumah itu sudah berdiri sejak awal abad 20. Setelah keluar dari mobil, Nadine memandang kagum tempat tinggal barunya. Rumah klasik. Mirip seperti dalam rumah-rumah yang sering kali dibuat setting dalam film-film Hollywood ia tonton.
Pohon-pohon yang tumbuh rindang berjajar di sepanjang jalanan. Rumput liar tumbuh di sela-sela pagar. Jalanan setapak menuju teras rumah sesak dengan dedaunan yang telah rontok dan rumput. Nadine melihat ada beberapa bunga dandelion berkembang di antara rerumputan. Pintu depan putih memiliki panel jendela di bagian kiri dan kanan pintu. Kacanya sedikit buram, mungkin karena untuk waktu yang lama tidak dibersihkan. Meski begitu, semua terlihat mengesankan di mata Nadine.
Begitu melalui pintu depan, Nadine memasuki ruang tamu. Melewati pintu di seberang ruangan, terdapat ruang tengah yang melebur dengan dapur kering. Di ruang tengah itu, ada perapian, sofa abu-abu, sebuah meja kayu dan karpet bulu sebagai alas lantai. Pada bagian dinding tepat di samping tangga, memakan semua ruang dinding itu, terpajang sebuah lukisan seorang wanita. Ia sedang duduk di depan perapian, persis seperti perapian yang berada di ruang tengah rumah itu. Nadine pikir perempuan itu adalah pemilik rumah yang sebelumnya. Ia tidak ambil pusing dengan lukisan tersebut.