Lompat

Written by Renata Vo

illustrated by Yulia Saraswati

illustrated by Yulia Saraswati


Suatu pagi yang cerah di bulan Desember, di pinggiran jalan sempit di kotaku, sebuah area perbelanjaan di Jakarta, aku berjalan melewati seorang gadis kecil yang membawa kaleng kecil dan alat musik seadanya. Ini bukanlah pandangan yang asing untuk ku lumrah untuk anak-anak yang tinggal disini untuk bekerja melainkan bersekolah karena mirisnya ekonomi di kota ini. Aku seharusnya sudah tahu kalau mengikuti anak kecil seperti mereka pasti berujung bencana. Kalau bukan uang yang diambil pasti penculikan. Walaupun begitu saat gadis tersebut menuntunku pergi, aku menurut. Bak domba bodoh mengikuti pengiringnya tanpa tanya ke tangan penyembelih. Akal sehatku berteriak, berhenti katanya, bahaya. Tapi aku tidak bisa menghentikan langkah kakiku. Menemukan kalau upayaku untuk berhenti tidak akan berhasil, aku memutuskan untuk mengikuti gadis tersebut, siap dijadikan makan malam raja di pestanya.

Sudah satu jam penuh aku berjalan mengikutinya tapi tanda pemberhentian tak kunjung terlihat. Masih elok sekali caranya mengayunkan kakinya, lebih seperti menari, dengan senyum lebar dan kaleng sarden di tangan coklat kecilnya. Aku termangu masih mengikuti punggungnya yang belum kunjung berkeringat. Sejam berjalan tanpa berhenti bukanlah hal yang mudah apalagi dengan matahari Jakarta yang tak kenal ampun. Masih ingin mengikuti gadis tersebut aku mengarahkan pandanganku ke jalan yang kita lalui, mencoba untuk menebak ke mana kita akan pergi.

Kamu hanya bisa membayangkan betapa terkejutnya aku waktu itu. Jakarta kota bising yang selalu hidup itu, telah sepenuhnya sunyi. Tidak ada namanya deru kendaraan dan teriakan para penjaga toko yang gatel ingin dagangan nya cepat habis. Jakarta sekarang kota mati, mereka takut, sedang sibuk bersembunyi dari gadis kecil di depanku. Saat itulah aku melihatnya. Tidak lagi kecil tangan halusnya, rambut hitamnya yang sekarang panjang menyapu tanganku yang masih ia genggam. Lalu dia berhenti. Kakiku yang semenjak tadi belum diberi waktu istirahat jatuh, tak kuat lagi menopang berat tubuhku. Gadis itu memalingkan mukanya dan aku bersumpah tidak ada orang yang lebih cantik dari dia yang didepanku kala itu. Ingin ku minum pemandangannya. Demi Tuhan, matanya itulah penyebab semua ini, matanya yang penuh bintang. Bintang di siang bolong, memang aku sudah gila.

Aku mengerutkan kening, melihat bintang-bintang di atas aku setelah lama kehilangan kesadaran. Punggungku basah, entah dari keringat karena berjalan atau embun di rumput tempat aku tadi tertidur. Aku tidak terkejut oleh tempat aneh dimana aku bangun, karena tidak jauh dari tempatku tertidur, adalah gadis yang telah membawaku ke tempat ini.

“Nama! Apa aku boleh tahu siapa namamu?” Kata-kata itu keluar dari mulutku, jauh sebelum otakku sadar apa yang sedang terjadi. Walaupun begitu, kalimat itu benar. Aku tahu aku tidak akan bisa tahu banyak tentang sosok misterius tersebut, tapi aku ingin tahu namanya. Namanya saja sudah cukup bagiku.

“Adine.”

“Oh…ok.” Aku dengan terburu-buru pindah tempat dan ikut duduk di pinggir tebing dengannya. Yang kulihat di bawah kakiku bukanlah semarak ombak yang tak kenal ampun tapi lemah lembut bunga-bunga penari. Pagi setelah aku secara ajaib bangun kembali di kamarku, aku menemukan diriku sangat merindukan rasanya pulang, meski sudah berada disana.

Beberapa minggu kedepan setelah hari tersebut adalah puncak dari kehidupanku. Bahkan harga makanan yang terus naik pun tidak bisa menghapus senyum dari mulut dan tawa dari perutku. Sudah seperti ulat saja diriku, tak bisa diam lompat dari satu tempat ke tempat lainnya sambil tak sekali pun berhenti tertawa. Ini semua adalah salah gadis tersebut. Tidak peduli kapan waktunya jika sempat terbesit keinginan untuk pulang ke tebing tersebut, gadis itu akan datang dengan tangan terbentang dan gaun biru muda selututnya. Di pinggir jurang di atas lembah, tenggelam didalam pelukan sesuatu yang ajaib. Telah kugambar dan kutulis puisi-puisi pujaan untuk sang lembah dan si gadis.

Malam pada akhir Januari itu adalah malam yang panas kucing di gang sebelah tidak mau berhenti mengeong dan kipas angin bututku mendesing dengan keras sedang protes karena terlalu sering dipakai. Dan sama seperti malam-malam sebelumnya, aku ingin pulang. Kuambil tangan coklatnya dan ku ikuti langkahnya. Sama seperti sebelumnya aku terbangun dengan punggung basah, sekarang tahu kalau itu adalah embun dari rerumputan. Lalu aku akan duduk di sampingnya, menanyakan namanya dan mendengarkan jawabannya. Sama persis seperti malam-malam sebelumnya. Tapi beda dengan hari-hari sebelumnya pada malam ini aku duduk terlalu dekat ujung tebing.

Rambutku menggelitik pipiku dengan sayang dan bumi sepertinya sudah tidak bisa lagi menahan rasa rindu ingin memelukmu lagi, karena dia menyuruh gravitasi untuk menarik ku ke arahnya. Kulihat muka gadis itu lagi dan aku temukan kalau diriku masih bisa tertawa, memang yang namanya gila, bahkan jika langit jatuh pun aku masih akan tersenyum di hadapannya. Dan tepat saat kurasakan tanah di belakang punggung, ku temukan diriku kembali di kosan reot berbau bangkai, bunga dan tanah di atas tempat tidur-ku, sebuah bisikan merdu berdengung di telingaku bagaimana bisa kita membunuh seseorang sangat mencintai kita. Saat itu tangisku pecah, hapus sudah semua jejak senyum dan kebahagiaanku selama beberapa minggu ini, karena sejujurnya…

“Itu tadi bukan jatuh, 'Dine, aku lompat.”

Previous
Previous

Flora’s Dream

Next
Next

Sama Rata