Roh Rumah Sebelah
Written by Zyta Zhafif
Kalau kamu sudah kenal aku, mungkin kamu menganggapku kecanduan dengan hantu. Tidak, bukan seperti itu tapi akan kujelaskan.
Namaku Ine. Aku tinggal di Perumahan Bunga Mawar yang 95% normal. Semua orang ramah, semua orang suka bermain bersama-sama, rukun sekali—itulah perumahan ini. Perumahan ini juga tepat berada di depan Pantai Kuta, sehingga semua orang bisa melihat sunset yang indah.
Semua itu terganggu oleh satu rumah, hanya satu rumah. Rumah Nomor 13 merupakan Rumah Angker yang sudah lama berdiri. Rumah itu bertingkat dua. Banyak jendela berada di bagian depan atas rumah tersebut. Pintu depan rumah itu sangat besar. Lumut pun tumbuh di pintu besar itu. Sarang laba-laba berada di sudut-sudut rumah itu. Beberapa kucing pun suka berjalan ke sana dan ke sini di teras rumah itu yang bertangga tiga.
Rumah Nomor 13 ini sudah beberapa kali ingin dirobohkan, namun selalu gagal karena kejadian mistis, seperti: alat-alat pertukangan yang terangkat dengan sendirinya dan beberapa konstruktor yang merasakan ada yang menyentuh tangannya, seperti digandeng. Dan itu adalah hal yang sangat mengerikan. Hiii….
Meskipun begitu, banyak anak-anak yang masuk secara diam-diam ke dalam Rumah Angker tersebut. Akhirnya, semua anak menjadi sangat takut dengan rumah itu. Mereka menyatakan, rumah itu seperti dipenuhi oleh hantu-hantu jahat. Furnitur terbang, organ bermain dengan sendirinya, suara hentakan kaki yang keras dan masih ada banyak hal lain yang dialami oleh anak-anak lain.
Sejujurnya, aku ingin masuk ke dalam Rumah Angker itu. Alasannya sederhana. Aku suka kegiatan yang memicu adrenalinku, seperti mengikuti wahana roller coster. Aku pun sangat menyukai hal-hal yang ada misterinya. Jelas sekali Bundaku tidak memperbolehkan aku masuk dong. Kan, sudah ada banyak anak yang mengalami kejadian mengerikan di rumah itu dan Bundaku tidak ingin kejadian itu menimpa diriku.
Eh! Sudah jam 10 malam. Waktunya tidur cantik. Selamat mal—he!? Apakah kamu mendengar itu? Aku mendengar suara organ dari dinding sebelah kanan kamarku. Meskipun aku mendengarnya, suara itu tidak terlalu keras. Sepertinya, Bundaku tidak bisa mendengar suara itu. Selain itu, rumahku persis di samping kiri Rumah Nomor 13!
Aku sangat penasaran; aku sangat ingin pergi ke rumah itu. Tapi, kamu pasti tahu kan bahwa pergi keluar rumah sendirian di malam hari itu berbahaya. Apalagi, aku hanya seorang anak perempuan berumur 14 tahun. Lagi pula, ini itu waktu untuk tidur. Oh ya! Aku sampai lupa tidur lagi, hahaha. Selamat malam!
***
Aaahhh… Selamat pagi! Ini sudah jam enam pagi. Aku sudah salat subuh dan badanku menjadi sangat segar. Ditambah ada secangkir teh hangat yang menemaniku di meja makan dengan sarapan roti panggang isi mozarellabuatanku. Mmm… Lezatnya roti ini!
“Selamat pagi, sayang.” Tiba-tiba, Bunda menyapaku sambil berjalan di tangga ke lantai bawah untuk memakan roti mozarella yang aku buat.
“Hello, Bunda! Nih, kakak bikin roti mozzarella lho! Pasti enak, karena bikinan kakak selalu enak, kann?” Aku selalu bercanda di pagi hari. Bunda tertawa.
“Lho, adik ada di mana?” tanya Bundaku. Eh, iya ya! Aku punya seorang adik laki-laki yang seharusnya aku bangunkan pagi tadi.
“Eh, adik! Kakak lupa, Bun! Kakak bangunin adek sekarang aja deh…” ucapku, dengan malasnya pergi ke kamar adikku. Padahal kan, aku lagi menikmati sarapan hangatku. Huu…
Aku naik ke lantai atas rumahku lewat tangga dan aku lari ke kamar adikku. Kamar adikku itu sangat jauh dari tangga. Aku membuka pintu kamar tidurnya, menyalakan lampunya, dan…
“Adik!? Kamu udah bangun? Kenapa enggak sarapan ke bawah!?” Ternyata, adikku sedang membaca komik di kasur! Adikku memang sangat suka membaca komik.
“Eh kakak. Surprise! Hihihi…” jawab adikku. Hadeuh!
“Jadi, adik kan tadi bangun jam setengah enam – kakak mau tahu kenapa adik bangun kan?” Aku menggelengkan kepalaku, masuk ke kamar adikku, dan berdiri di depan hadapannya.
“Kakak enggak mau tahu. Sekarang, kamu pergi ke kamar mandi, cuci mukamu, dan turun ke bawah buat sarapan. Nanti, roti panggang mozarella-nya jadi dingin lhoo!” Adikku itu suka banget sama mozarella. Sampai-sampai, ia lari cepat sekali ke kamar mandi!
Aku berjalan keluar kamar adikku dan berjalan ke tangga. Seperti yang aku katakan tadi, tangga sangat jauh dengan kamar adikku. Aku baru saja mau turun tangga, ketika adikku tiba-tiba saja lari secepat kilat ke bawah tangga! Aku menggeleng kepalaku.
“Adik ngagetin kakak aja! Kamu itu cepet banget, sampai-sampai kakak pengen pingsan deh!” Adikku cekikikan sambil memakan roti mozzarella-nya.
***
Sekarang jam 9 pagi. Aku pamit pada Bundaku untuk bermain bersama temanku, Ara. Aku memakai baju kain lengan panjang berwarna biru muda dengan jilbab berwarna putih dan celana kain berwarna hijau. Tidak lupa, sepatu warna putih hitam.
Aku berjalan keluar rumah, belok kiri, dan pergi ke rumah Ara. Rumah Ara hanya empat rumah dari rumahku. Aku pun ingin menceritakan hal tentang suara organ yang terjadi malam itu!
Tok! Tok! Tok! Aku mengetuk pintu rumah Ara dan dia sendiri yang membuka pintunya.
“Eh, Ine! Ayo masuk. Jangan lupa dilepas sepatunya di depan sini yaa,” ucapnya. Aku melepas sepatuku dan berjalan masuk ke rumahnya. Rumah Ara tidak bertingkat seperti rumahku. Aku bisa katakan bahwa rumah Ara lumayan kecil, tapi aku tetap nyaman berada di dalamnya.
Ketika aku masuk, dari sebelah kiri aku sudah ada meja makan beserta dapurnya di sebelah kiri meja itu dan ada Tante Siti yang sedang mencuci piring. Di sebelah kananku, ada pintu lagi yang bertulisan Kamar Abi. Sepertinya, itu kamar Abinya Ara. Dinding rumahnya berwarna putih.
“Assalamu’alaikum, Tante Siti,” salamku. Tante Siti memutar kepalanya ke kiri untuk menghadapiku.
“Wa’alaikumussalam. Eh, Ine! Masuk, masuk. Duduk di meja makan tuh,” jawabnya. Aku duduk di meja makan dan tidak lama kemudian Ara bergabung bersamaku.
“Hello, bestie! Apa kabar?” tanyanya. Aku mengangguk kepalaku sebagai tanda bahwa aku baik-baik saja.
“Ada apa kamu dateng ke rumahku?”
“Jadi, ada yang mau aku omongin nanti sama kamu. Jangan takut, yaa,” jawabku. Ara terlihat bingung. Jelas sekali, karena aku saja belum memberi tahu kepadanya apa yang aku ingin bicarakan.
Tante Siti meletakkan sebuah pai yang sudah diiris menjadi delapan bagian harum buah apel menguar dari pai tersebut.
“Ini dia, pai apel ala Umi. Ine makan juga yaa,” ucap Tante Siti. Aku mengambil tisu dari kotak tisu di sebelah kiriku. Aku sudah bisa mencium bau kelezatannya, kemudian mengambilnya dengan tisu, dan memakan pai itu.
Mmm… lezat sekali! pikirku. Aku segera menghabiskan satu iris pai itu. Eh… perutku segera kenyang!
“Ine, jadi tidak? Kamu tadi kan mau omongin sesuatu denganku,” ucap Ara. Eh, iya! Karena pai apel itu sedap sekali, aku sampai lupa tentang hal tersebut. Ine, Ine….
“Kita ke kamar kamu aja yuk!” Ara setuju dan kita segera pergi dari meja makan menuju ke kamarnya Ara. Kamar dia lebih ke dalam rumahnya.
“Jadi, apa yang pengen kamu omongin?” tanya Ara di kamarnya.
“Semalam, aku tidur jam 10. Pas aku mau tidur, tiba-tiba ada suara organ dari dinding bagian kananku. Ditambah, rumah yang ada di sebelah kanan rumahku itu Rumah nomor 13! Nah, terus—”
“Seriusan!? Kamu kan tahu, Rumah nomor 13 itu Rumah Angker!” Aku belum selesai ceritanya, Araa…
“Iya aku tahu tentang itu. Jadi—”
“Udah, udah. Alur cerita kamu ini bikin aku goosebumps! Dan kayaknya, itu perbuatan Roh Rumah Angker itu! Hii…”
“Umm… Iya, jadi kamu mau ikut uji nyali sama aku di rumah itu tidak?” tanyaku.
“What!? Kamu kayaknya udah kecanduan banget sama hantu. Aku itu bilang kayak gini bukan karena aku itu ngejelekin kamu, tapi hantu itu mahluk tidak untuk dipermainkan!” Ara benar juga, tapi aku tetap penasaran tentang rumah itu.
“Aku mau pulang ya! Eh, aku minta pai apel itu boleh tidak?”
“Tanya Umiku saja. Kamu tahu kan jalan ke ruang makan?”
“Ya tahulah! Aku kan sudah sering ke rumahmu.”
Aku pun keluar dari kamarnya Ara dan aku pergi ke ruang makan. Di situ, aku menanyakan sesuatu kepada Tante Siti.
“Tante… Ine mau nanya nih. Boleh tidak, Ine bawa pulang pai apelnya? Soalnya, tadi pai-nya enak banget,” pintaku.
“Oh! Boleh banget. Sini, Tante bungkusin yaa.”
Tante Siti membungkuskan aku tiga potong pai apel. Aku pun mengucapkan salam padanya dan pergi ke rumah Kak Indri.
Eh, kamu sudah tahu belum Kak Indri. Yang pasti, belum kan? Oke, Kak Indri adalah temanku di perumahan ini yang bisa dibilang sikapnya ada yang sama denganku, yaitu menyukai hal-hal yang memicu adrenalin. Kak Indri berumur dua puluh tahun dan enam tahun lebih tua daripada aku.
Akhirnya! Aku sampai di rumah Kak Indri. Aku mengetuk pintunya dan yang membuka pintunya pun Kak Indri sendiri.
“Eh, Ine! Masuk, masuk,” sapa Kak Indri.
Aku masuk ke dalam rumahnya lewat lorong pintu depan ke ruang keluarga dan isinya serba putih! Ekhem Seharusnya aku tidak kaget juga sih… lagi pun, aku sudah sering pergi ke rumah Kak Indri.
Rumahnya sangat luas. Mungkin saja, lebih luas daripada rumahku. Di rumahnya, aku melihat sebuah ruang keluarga yang televisinya lebar sekali! Luas ruang keluarganya sendiri seperti ukaran dapur dan taman belakangku ketika kedua ruangan ini digabung.
“Apakah ini semacam surprise? Sepertinya tidak. Selamat siang, Ine!” ucap Kak Indri yang datang dari lorong di belakangku.
“Kak Indri! Aku itu ke sini untuk menceritakan sesuatu hal yang… aneh,” jawabku. Tidak seperti Ara, Kak Indri tidak terlihat bingung sama sekali. Ia mengajakku untuk duduk di sofa panjang ruang keluarganya untuk membahas hal ‘aneh’ tersebut.
“Baiklah. Apa hal yang ingin kamu sampaikan?” tanyanya. Aku menarik napas dan menceritakan panjang lebar tentang apa yang aku alami kemarin malam mengenai organ dari Rumah Angker itu.
“Jadi, kamu mendengar sebuah organ bermain dari Rumah Nomor 13 pukul sepuluh malam?” tanya Kak Indri. Aku menganggukkan kepalaku. Menurutku, Kak Indri itu mengerti banget perasaanku.
“Nah, betul tuh! Ehmm…. Kak Indri mau ikut semacam uji nyali ke rumah itu enggak?” Kak Indri terlihat sangat senang dengan pertanyaanku.
“Tentu saja aku mau! Hal yang memicu adrenalin adalah hal yang sangat menyenangkan, bukan? Tapi, bagaimana kalau kita lakukan ‘uji nyali’ ini besok jam 6 besok?” Aku menganggukkan kepalaku dengan hati yang riang!
“Oke! Kayaknya aku bisa kok,” jawabku. Kak Indri tersenyum lebar.
“Anyway, aku mau pulang ke rumah aku aja yaa. Sampai ketemu besok, kak!”
“Ya, selamat tinggal, Ine!” Aku pergi dari sofa menuju lorong ke pintu depan. Aku memakai sepatu putihku dan pergi dalam sekejap.
Sesampainya di rumahku, aku dipanggil oleh adikku.
“Kak! Main mobil-mobilan yuk!” panggilnya.
Aku segera melepaskan sepatuku dan lari ke atas tangga di mana adikku sedang bermain dengan mobil-mobilannya.
“Swuushh! Lihat kak! Mobil warna merahku berlari sangat cepat, kan?” Aku mengambil mobil berwarna biru miliknya dan aku mendorongnya sehingga mobil birunya bergerak menyusul mobil merah adikku.
“Mobil birunya pasti lebihcepat! Hahaha…”
Aku dan adikku bermain sangat lama dengan mobil-mobilan itu. Kita tertawa dan balapan terus. Hihihi…
***
“Aaaahhhh… ngantuknya aku…” Di pagi hari, aku bangun dengan badan pegal-pegal. Ya, sedikit malas-malasan mungkin di pagi hari kali ini.
Aku mematikan wekerku dan berdiri dari tempat tidurku. Aku melihat waktunya dan sudah jam setengah lima pagi. Aku berjalan pelan-pelan ke kamar mandi karena aku masih ngantuk. Aku berdiri di depan cermin dan mengsuap mukaku dengan air dari wastafel kamar mandi. Setelah itu, aku merasa sedikit lebih segar dan mengambil wudu, kemudian kembali ke kamar dan melaksanakan salat subuh.
Sehabis salat subuh, aku lari dari tangga ke ruang makan dan Bundaku sudah menungguku di sana.
“Selamat pagi, Kak. Sini, Bunda bikin oatmeal apple cinnamon favorit kakak lhoo.” Waahh! Bundaku ternyata membuat oatmeal favoritku sepanjang hidupku.
“Bunda tahu aja favoritnya Kakak!” ucapku. Ibu tertawa dengan senyum dan duduk di kursi meja makan untuk makan sarapan bersamaku. Di tengah-tengah sarapan, aku bertanya kepada Bundaku,
“Bunda, boleh tidak kakak ke rumahnya Kak Indri? Mau tolong Kak Indri. Tapi, dianya tidak bilang aku tolong dia dalam hal apa.” Bundaku berpikir cukup lama. Akhirnya,ia menganggukkan kepalanya.
Lantas, aku segera pergi ke kamarku dan memakai baju pergi Tidak lupa, aku membawa senter untuk jaga-jaga saja. Aku keluar dari kamar dan berlari ke pintu depan rumah setelah berpamitan kepada Bunda.
“Assalamu’alaikum, Bunda!” ucapku. Aku keluar dari rumahku dan pergi ke rumah Kak Indri. Aku melihat dari jauh bahwa Kak Indri sudah keluar dari rumahnya dengan sebuah senter dan pakaian yang rapih.
“Kak Indri! Sudah siap ya?” Aku pergi medekati Kak Indri. Ia tersenyum.
“Tentu saja, kakak sudah siap!”jawabnya.
Tanpa basa-basi, kami pun pergi ke depan Rumah Angker. Di perempatan Rumah Angker tersebut, tidak banyak orang yang berlalu dan ini masih pagi. Kesempatan besar!
“Kak Indri mau masuk duluan tidak?” tanyaku. Dia sepertinya tidak takut, tidak sepertiku, padahal, aku yang mengajak Kak Indri, hehehe.
Pintu besar Rumah Angker itu dibuka oleh Kak Indri. Baru dibuka, sudah ada beberapa tikus yang keluar dari pintu. Aku sempat berteriak, tapi mulutku ditutup sama Kak Indri (hmph!). Kami berdua masuk ke dalam rumah itu. Beruntung sekali kita tidak lupa memebawa senter karena rumah ini gelap sekali.
Dinding rumah itu ditutupi oleh wallpaper berwarna coklat yang sudah sobek. Rumah itu kosong sekali. Hanya ada debu, tikus, kucing, dan furnitur rumah yang sudah berlumut. Dan ada pula organ yang ada di sebelah kananku!
“Itu organnya!” ucapku.
“Tunggu, Ine! Jangan langsung pergi.” Namun, aku tidak menghiraukan Kak Indri. Aku mendekati organ itu dan aku memencet beberapa notasi.
“Kan aku cuma mau main organnya, kok! Lagian, tidak ada hal buruk dengan organ ini, bukan?” ucapku.
Tiba-tiba, notasi di nada tinggi bermain dengan sendirinya. Aku sedang bermain di nada rendah, sehingga aku tidak melihat nada tinggi. Aku mengalihkan pandanganku ke nada tinggi.
“Kak Indri main organnya ya?” aku bertanya. Kak Indri menggeleng kepalanya.
“Terus tadi yang main-” Tiba-tiba, nada tinggi dan nada rendah bermain dengan sendirinya! Tangan aku maupun tangan Kak Indri tidak memainkan notasi ini!
Hah!? Bermain sendiri- Tanpa kusadari, kursi di bagian dinding kiri Rumah Angker ini tiba-tiba terbang dan mengenai dinidng sebelah kanan! Seperti dilempar oleh seseorang.
“K-Kak Indri? Apa i-ini!?” Kak Indri mematung. Aku mundur dari organ itu, tapi lebih banyak furnitur terbang dari dinding kiri ke kanan dan sebaliknya! Aku berlari menuju pintu, namun langkahku terhenti karena jendela-jendela Rumah Angker ini terbuka dan tertutup dengan sendirinya!
Kak Indri mengenggam tangganku menuju pintu depan. Kak Indri membuka pintu rumah ini dan membawaku keluar dari Rumah Angker bersamanya. Pintu Rumah Angker itu tertutup dengan sendirinya dan jendela mulai berhenti bergerak.Sepertinya, baru pertama kali ini aku merasakan bagaimana mengerikannya hantu itu.
***
Kami berlari secepat mungkin dan kami pun sampai di depan Rumah Kak Indri. Kami pun menarik nafas dulu di depan pintu rumahnya dan membuka pintu itu. Kak Indri pun langsung lari ke ruang keluarga. Aku berjalan perlahan-lahan mengikutinya.
“Tadi itu serem, Banget!!” seru Kak Indri. Aku tidak percaya pada diriku sendiri, tapi aku setuju bahwa ‘uji nyali’ tadi itu seram sekali.
“Iya, sepertinya aku setuju padamu. Tapi… aku masih penasaran! Yaa, ada juga sih feeling takut-takut gituu…” jawabku.
“Oke, kamu serius!? Maaf, tapi kamu itu sangat ’setia’ pada roh, hantu, sama yang serem-serem gitu!” Ternyata, Kak Indri berpikir yang sama seperti Ara.
Ara bilang aku kecanduan sama hantu. Terus, Kak Indri bilang aku setia sama hal-hal yang serem gitu. Gimana nih?
“Kalau begitu, aku akan pergi sendirian,” ucapku. Aku berdiri dari sofa dan berjalan menuju lorong pintu depan rumah Kak Indri, ketika…
“Ine, aku ikut sama kamu,” ucap Kak Indri. Aku berbalik dan ingin meloncat-loncat gembira!
“Tapi, kita lakukan ini lusa saja. Kamu boleh bawa korek api dan aku akan membawa dua lentera nanti. Kita berangkat jam 6 saja, biar tidak serem-serem amat seperti hari ini.” Aku pun langsung mengangguk dan pergi dari rumah Kak Indri, merasa senang.
***
Esok harinya berjalan sama. Banyak aktivitas yang aku lakukan hari ini. Adikku itu mau main sama aku terus. Padahal, aku kan pengenya nonton kartun Pokémon. Huuu…
Ibuku selalu masak makanan yang lezat setiap hari. Menurutku, hari ini adalah hari yang sangat menyenangkan karena ibuku memasak ayam betutu untuk makan siang! Aku sampai makan dua piring lho! Adik aku aja habis 1 piring tidak bisa. Hebat kan?
Hari ini, aku juga beli sekotak korek api untuk uji nyali esok hari. Menurutku, kali ini uji nyalinya lebih seru.
Pada malam hari, aku pun melakukan hal-hal sebelum tidur yang sama, seperti menggosok gigi, mandi air hangat, dan sholat isya. Ketika aku ingin tidur, aku mendengar sebuah perbincangan dari dinding sebelah kanan kamarku. Aku pun penasaran dan menempel telingaku di dindingnya.
“Aku tidak ingin ada seseorang yang menyentuh organ milikku!” ucap seseorang.
“Aku tahu anakku mengganggumu, tapi ia dan temannya tidak tahu bahwa itu punyamu. Lagi pun, mereka hanya bermain dengan organmu kan?” jawab orang lainnya.
Aku sangat kaget setelah mendengar perbincangan itu. Aku melepas telingaku dari dindingnya dan bersembunyi di dalam selimut tempat tidurku.
Aku bertanya-tanya banyak hal di pikiranku. Siapakah orang-orang itu? Anakku mengganggumu? Siapa anak ini?
Tetapi, daripada memikirkan hal seperti itu, aku lebih baik tidur saja dan merahasiakan hal itu dari Kak Indri. Aku hanya tidak ingin memberitahunya.
***
Esok hari pun sudah tiba. Aku bangun jam setengah enam karena perlu salat shubuh dulu. Aku segera turun dari tangga dan sarapan martabak keju hangat sudah disediakan oleh Bundaku di meja makan. Aroma martabaknya tercium sampai lantai dua lho!
“Wahhh! Sarapan martabak!” ucapku, sambil duduk di kursi meja makan.
“Eh, kakak! Ayo makan. Mumpung masih hangat nih. Pagi-pagi makan martabak hangat enak kan?” tanya Bundaku. Aku mengangguk.
Aku segera serbu piring martabaknya. Aku menikmati sarapan itu dengan sepenuh hatiku. Perutku berhenti berbunyi dan aku rasa, perutku sangat senang dengan sarapan yang aku makan di pagi hari ini. Tidak disangka, aku sudah makan empat buah martabak keju! Banyak banget kan? Hehehe…
“Bunda, kakak perlu nolong Kak Indri lagi. dua hari yang lalu, kakak nolongin Kak Indri bersih-bersih rumah. Katanya, datang lusa dan hari ini sudah lusa. Boleh kan, Bun?”
“Oh… kalau nolong Kak Indri sih, Bunda boleh-boleh aja yaa,” ucapnya. Aku tersenyum lebar dan segera pergi ke kamarku. Aku bersiap-siap di kamarku. Aku memakai celana jeans berwarna navy blue, baju berwarna putih, jaket berwarna hijau gelap, serta topi dengan gambar Pikachu. Tidak lupa, aku membwa korek api untuk lenteranya.
“Bunda! Kakak pergi dulu ya!” ucapku. Bundaku melambaikan tangannya kepadaku dari dalam rumah. Aku memakai sepatu merahku dan akupun keluar dari pintu rumahku dan lari menuju rumah Kak Indri sambil jogging pagi.
Tok! Tok! Tok! Aku mengetuk pintu rumah Kak Indri. Ia membuka pintunya. Ia memakai celana panjang berwarna kuning dan baju lengan panjangnya pun berwarna kuning, tapi bajunya memiliki polkadot berwarna putih. Ia sudah memakai sepatu birunya. Ia pun sudah membawa dua lentera di tangan kirinya.
“Udah siap ya, Ine?” tanyanya. Aku tersenyum lebar. Ia menutup pintu rumahnya dan menguncinya.
“Ayo Kak Indri!” ucapku. Aku berlari menuju Rumah Angker, sedangkan Kak Indri sedang berlari dan mengejarku dari belakang.
Akhirnya, aku dan Kak Indri pun sampai di depan Rumah Angker itu. Sebelum masuk, kami mennyalakan api di lentera-lentera untuk kami bawa ketika berada di dalam Rumah Angker tersebut. Aku mulai merasakan buru kudukku berdiri, padahal kami belum masuk.
Kami pun mengambil lentera-lentera itu dan membuka pintu Rumah Angker itu. Lagi-lagi, Kak Indri masuk duluan. Kita melihat-lihat dalam rumah ini. Aku tidak ingin memainkan organ itu lagi setelah perbincangan yang kudengar semalam.
Tiba-tiba, satu lampu di plafon rumah ini menyala. Kami pun tidak memerlukan lentera lagi. Maka, lentera itu kami matikan dan kami melihat-lihat rumah itu bersama-sama. Kami memegang sebentar saja furnitur-furnitur di rumah itu.
Lima menit kemudian, furnitur rumah itu pun mulai melayang lagi. Mulai dari meja, kursi, bahkan organ pun melayang! Pertama, aku merasa sangat takut dan ingin segera lari. Tetapi, aku masih ingin mengetahui lebih dalam tentang rumah ini. Tiba-tiba, lampunya mati!
“He!? Apa yang terjadi?” Aku sudah panik duluan!
“Tenang saja. Aku mau nyalain korek api nih..” ucap Kak Indri. Ia menyalakan korek tersebut dan kami pun mendapatkan cahaya.
Alangkah terkejutnya aku ketika salah satu kursi jatuh dan berhenti melayang. Kak Indri menyalakan satu lagi korek dan mengarahkannya ke furnitur lain dan beberapa furnitur tersebut jatuh dan berhenti melayang juga.
“Kak, siapa tahu roh-roh di sini takut sama api! Minta satu korek apinya, Kak Indri,” ucapku. Kak Indri mengangguk dengan pendapatku. Ia memberiku satu korek api dan aku mengrahkannya ke semua furnitur.
Akhirnya, semua furnitur pun berhenti melayang. Aku dan Kak Indri pun merasa lega. Kita mematikan korek apinya karena lampu dari plafon menyala lagi.
“Roh-roh Rumah Angker, tunjukanlah dirimu!!” teriak Kak Indri. Satu roh menunjukkan dirinya. Seluruh badannya berwarna putih, bahkan bajunya juga berwarna putih.
Kak Indri kemudian menyalakan satu korek api lagi menuju roh itu dan ia pun mundur karena ketakutan dengan korek api itu. Ia pun menyuruh roh lain untuk memunculkan dirinya. Akupun melihat semua roh itu mengelilingi aku dan Kak Indri. Dan salah satunya…
“Ayah!? Kok Ayah ada di sini! ? K-kakak sekarang udah bingung banget mau bilang apa! Ini kayak plot twist aja deh…” ucapku. Ayahku pun cekikan.
“Yee, kakak. Diam-diam kesini. Enghak bilang Ayah lagi! Hahaha… oke, oke, oke. Ini kayak, rumah Ayah sekarang.Tapi tidak cuman Ayah. Ada orang lain di sini. Nah, ini nih. Yang dari kemarin jailin kalian. Namanya Bang Ribo. Dia itu overprotective banget sama rumah ini!” jawab Ayahku.
Santai banget Ayah di situasi kayak begini. Huuhhh… pikirku.
“Maaf ya dek, hihihi…” ucap Bang Ribo. Aku dan Kak Indri pun ketawa.
Kita pun berbincang-bincang dan Ayah beserta teman-temannya pun ingin Rumah Angker ini di kunci. Kita pun harus pergi dari rumah ini atau ketahuan sama orang lain.
“Ayah, gimana kalau Kakak bilang ke Pak RT tentang pendapat Ayah? Tapi, versi Kakak,” tanyaku. Ayahku pun langsung mengangguk.
Aku dan Kak Indri segera pergi dari Rumah Angker itu dan menuju rumah Pak RT.
“Eh, Indri dan Ine. Ada apa ke sini?”
“Jadi begini pak, Rumah Angker itu kan susah untuk dirobohkan. Bagaimana kalau di kunci saja pintu dan jendelnya? Dengan cara itu, tidak ada yang bisa masuk lagi,” jelas Kak Indri. Aku sebenarnya malu, hehehe…
Pak RT pun mengangguk dan mengatakan untuk melakukan sebuah musyawarah esok hari. Dan esok hari pun musyawarah di mulai.
“Bunda! Bunda udah pulang! Jadi, gimana?” tanyaku.
“Pak RT sama semua orang lain gerak cepat untuk setuju lho! Hahaha,” ucap Bundaku. Aku dan adikku pun tertawa.
***
Rumah Angker itu pun dikunci. Tak ada lagi anak-anak yang bisa masuk ke dalam rumah itu dan warga pun sudah sedikit lebih tenang daripada sebelumnya. Aku dan Kak Indri pun senang karena Bang Ribo, Ayah, dan roh-roh lainnya pun bisa hidup di sana dengan aman dan tidak ada yang mengganggunya.
Aku pun sedikit-sedikit mendengar obrolan Ayah dan Bang Ribo dan roh yang lain. Tebak-tebakkannya pun bikin aku ketawa, hahaha!
***